Orang Pintar Sulit Dapat Pekerjaan - Kata seorang guru bisnis orang
pintar akan sulit mendapatkan pekerjaan.Dan ia bersungguh-sungguh. Ia tidak sedang bergurau. Tetapi, Bagaimana mungkin orang pintar justru
sulit mendapatkan pekerjaan? Bukankah perusahaan-perusahaan terkemuka
selalu membuka lowongan bagi orang-orang pintar tersebut?
Sudah
amat jelas bahwa ”orang pintar” yang dimaksudkan oleh guru bisnis itu tidak mengarah kepada kaum paranormal, apalagi dukun dan
sebangsanya.
Yang dimaksud adalah kaum terpelajar-cerdas dengan keahlian-keahlian khusus. Mereka adalah alumnus dari sekolah-sekolah terbaik di Indonesia atau di manca negara dengan gelar formal strata-2 (master) dan strata-3 (doktoral). Mereka menekuni bidang-bidang tertentu yang sangat terspesialisasi. Sebagian juga memperoleh spesialisasinya dengan mengambil program-program sertifikasi di bidang tertentu, entah yang berkaitan dengan teknologi informasi, finansial, neurosains, pengembangan sistem, penataan budaya organisasi, dan sebagainya. Kehadiran mereka dalam jumlah yang terus meningkat di Tanah Air, menimbulkan konsekuensi tertentu.
Yang dimaksud adalah kaum terpelajar-cerdas dengan keahlian-keahlian khusus. Mereka adalah alumnus dari sekolah-sekolah terbaik di Indonesia atau di manca negara dengan gelar formal strata-2 (master) dan strata-3 (doktoral). Mereka menekuni bidang-bidang tertentu yang sangat terspesialisasi. Sebagian juga memperoleh spesialisasinya dengan mengambil program-program sertifikasi di bidang tertentu, entah yang berkaitan dengan teknologi informasi, finansial, neurosains, pengembangan sistem, penataan budaya organisasi, dan sebagainya. Kehadiran mereka dalam jumlah yang terus meningkat di Tanah Air, menimbulkan konsekuensi tertentu.
Umumnya,
kaum terpelajar-cerdas ini sangat diperlukan oleh perusahaan untuk
mengerjakan hal-hal yang spesifik. Misalnya, memperbaiki sistem
informasi atau sistem administrasi, membantu standarisasi proses
tertentu, membantu meredefinisi budaya organisasi, mengajarkan proses
pengelolaan keuangan untuk mencapai kebebasan finansial, memberikan
terapi untuk menata sikap dan perilaku buruk, dan sebagainya. Namun,
mereka ini sebenarnya hanya diperlukan untuk periode waktu tertentu
saja, umumnya dalam hitungan bulan. Setelah periode tersebut, keahlian
mereka yang spesifik itu tidak dibutuhkan lagi.
Pada titik inilah fenomena munculnya para konsultan jenis baru di Indonesia bisa dijelaskan. Orang-orang terpelajar-cerdas ini tidak mudah untuk memperoleh pekerjaan tetap (full-time job)
dalam sebuah perusahaan karena dua alasan, yakni: pertama, perusahaan
tidak mampu membayar sesuai dengan kemauan mereka, karena perusahaan
memang tidak membutuhkan mereka dalam rentang waktu yang panjang; kedua,
mereka sendiri sulit memperoleh kepuasan profesional kalau hanya
berkiprah di dalam satu perusahaan saja, karena mereka akan merasa
terkurung dan kurang dihargai sebagaimana mestinya.
Oleh
karena itu, orang-orang terpelajar-cerdas ini lebih baik mendirikan
usaha sendiri, menjadi konsultan yang melayani berbagai perusahaan saja.
Ini solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.
Sebab
dari sisi perusahaan, menggunakan jasa para konsultan ahli ini secara
hitungan jangka panjang biayanya menjadi relatif murah. Jauh lebih murah
dibanding mereka harus mempekerjakan tenaga ahli secara sepenuh waktu
sebagai karyawan tetap bergaji tinggi. Ini menjadi bagian dari proses
mengurangi biaya tetap dan meningkatkan laba perusahaan. Perusahaan juga
tidak perlu memikirkan apakah konsultan ahli ini memiliki kultur dan
nilai-nilai yang sejalan dengan perusahaan atau tidak, sebab yang dibeli
oleh perusahaan adalah keahliannya. Keahliannya itu yang ingin diambil
oleh sebagian karyawan perusahaan yang terkait dengan bidang tugas
tertentu, agar perusahaan bisa berjalan sesuai dengan harapan pemilik
dan manajemen puncak perusahaan.
Pada
sisi lain, kaum terpelajar-cerdas yang dikontrak dalam jangka pendek
ini dapat melayani klien yang lebih luas, sehingga baik secara finansial
maupun secara kepuasan profesional, semuanya lebih besar. Mereka bisa
memberikan kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat karena tidak
terbelenggu oleh satu organisasi tertentu.
Begitulah salah satu kecenderungan yang terjadi di Indonesia
dewasa ini. Kecenderungan ini sejalan dengan sejarah tenaga kerja di
Eropa maupun di Amerika. Sebab pada tahun 2000 saja, jumlah tenaga kerja
yang bekerja secara kontraktual di Eropa tercatat lebih dari 50% tenaga
kerja, dan di Amerika lebih dari 43% tenaga kerja. Mereka ini adalah
tenaga kerja dengan spesialisasi keahlian yang spesifik dan karenanya
tidak mampu dipekerjakan oleh perusahaan formal yang selalu mencari cara
untuk mengurangi biaya dan memaksimalkan keuntungan. Akibatnya, mereka
mendirikan usaha konsultansi sendiri dan melayani klien yang beraneka
ragam.
Jadi kecenderungan ini menunjang usaha-usaha perusahaan untuk reducing cost and maximizing profit<.
Ini tidak mungkin bisa dihalang-halangi. Akan makin banyak orang
terpelajar-cerdas yang sulit mencari pekerjaan tetap dan harus
mendirikan perusahaannya sendiri.
Apakah
semua orang pintar akan mendirikan usaha sendiri? Tidak juga. Sebagian
lagi memilih untuk masuk ke pasar dunia. Mereka tidak lagi melihat Indonesia sebagai sebuah ”pembatas”, karena bagaimana pun teknologi informasi telah membuat dunia menjadi borderless, tanpa batas yang tegas. Sejumlah pilot Indonesia memilih bekerja di perusahaan penerbangan Thailand. Sejumlah insinyur hebat memilih Malaysia
sebagai tempat berkarya. Dan sejumlah dosen yang mumpuni, mengajar di
universitas-universitas terkemuka sekitar Asia Tenggara dan Australia.
Lalu,
apa yang ”tersisa” di perusahaan-perusahaan saat ini? Apakah tidak ada
karyawan terpelajar-cerdas yang masih menjadi orang gajian?
Tampaknya
masih ada dua kelompok besar yang bertahan menjadi karyawan di
perusahaan-perusahaan kita. Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki
kecerdasan rata-rata saja. Meski pun mereka lulus dengan indek prestasi
komulatif di atas 2,75, kecerdasan mereka tidak nampak dalam dunia
kerja. Mereka hanya senang disuruh dan diperintah. Mereka tidak
menunjukkan proaktivitas yang memadai untuk memperkembangkan diri lewat
proses belajar berkelanjutan dari situasi-situasi kehidupan kerja
sesehari. Inilah kelompok karyawan mayoritas yang jumlah populasinya
mungkin 80% dari total karyawan.
Kelompok
kedua adalah sarjana-sarjana cerdas-berbakat yang hanya menggunakan
sebagian saja dari kecerdasannya dalam bekerja. Pada satu sisi mereka
tidak memiliki pemimpin visioner yang mau mempercayai dan memberdayakan
mereka untuk mengerjakan tugas-tugas yang lebih menantang, seperti
merintis unit bisnis yang diperkirakan cocok dengan potensinya (dengan
risiko gagalnya, tentu). Dan pada sisi lain mereka sendiri tidak
menumbuhkan keberanian yang cukup untuk keluar dari zona kenyamanannya,
sehingga bersedia menerima imbalan finansial yang lebih kecil asal
”pasti”. Mereka mengorbankan kecerdasan dan bakat mereka untuk
kenyamanan semu yang memabukkan.
Semoga bermanfaat dan terimakasih telah membaca artikel yang berjudul Orang Pintar Sulit Dapat Pekerjaan ini. Kunjungi juga blog lainnya yaitu Motivasi dan Inspirasi dan blog rahasia berpikir positif..
0 komentar:
Posting Komentar